Alhamdulillah, semua rangkaian umroh selesai sudah, namun ketika kita Jamaah Umroh FTI UII harus meninggalkan Baitullah, ada rasa tidak ingin meninggalkannya apalagi ketika kita harus melakukan Tawaf Wada inilah momen yang paling berat dirasakan mungkin oleh setiap jamaah, karena setelah kita melakukan tawaf tersebut, kita sudah tidak dapat masuk lagi ke dalam Masjidil Haram, selamat tinggal Baitullah, sedih bercampur haru dengan penuh harap dan doa semoga Allah SWT memberi kesempatan bagiku untuk dapat datang kembali suatu saat ke Baitullah, baik untuk berhaji maupun Umrah, Aamiinnn.
Momen perpisahan dengan Baitullah tersebut diungkapkan Dhatik Safitri, Tenaga Pendidik (Tendik) Program Pascasarjana Fakultas Teknologi Industri Universitas Islam Indonesia (PPs FTI UII) melalui pesan singkatnya (17 Februari 2018).
Mengutip Prof Dr Nasaruddin Umar, Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang di release Republika, Baitullah atau Ka’bah, baik dalam arti fisik maupun spiritual, merupakan kiblat peribadatan atau objek tawajjuh. Bahkan, dikatakan dalam hadis, “Tidak sah shalat bagi mereka yang tidak menghadap ke kiblat.” Ka’bah se bagai objek tawajjuh merupakan ke niscayaan karena bukankah lafaz ikrar dalam iftitah seluruh ibadah, hidup dan kehidupan serta kematian kita semuanya hanya untuk Allah SWT, Sang Pemilik Ka’bah.
Ka’bah adalah jiwa universal yang disebut dengan Baitullah yang agung. Manisfestasinya di atas permukaan air sebagai isyarat pada alam-alam ruhani yang tampak sebelum alam-alam jasmani. Karena biasanya setiap sesuatu yang mewujud memiliki sesuatu yang di atasnya. Tidak diragukan bahwa jiwa universal berada di atas jiwa-jiwa partikular dan alam-alam ruhani. Allah berfi rman, “Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari. Dan arasy-Nya berada di atas air,” (QS Hud [11] : 7). Sebelum penciptaan langit dan bumi yang berbentuk jasmani, Arsy berada pada hal-hal yang bersifat ruhani dari akal dan jiwa, jika yang dimaksud dengan air adalah air lahiriah menurut pendapat ahli tafsir.
Mengadakan perjalanan menuju rumah itu adalah kewajiban manusia yang sanggup terhadap Allah. Barang siapa yang mengingkarinya, maka sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak memerlukan) alam semesta.” (QS Ali Imran [3]:96-97).
Jerri Irgo