PUSFID, Saracen dan Blackmarket

Yudi Prayudi, M.Kom, Kepala Pusat Studi Forensika Digital – PUSFID Universitas Islam Indonesia, dalam releasenya (24 Agustus 2017) di ruang kerjanya FTI UII, Gedung KH Mas Mansur Kampus Terpadu UII Yogyakarta menyatakan “Maraknya konten-konten negative yang bernuansa SARA dan ujaran kebencian yang tersebar pada berbagai channel media sosial ternyata tidak dilakukan oleh individu, melainkan oleh sekelompok orang dalam sebuah jaringan yang terorganisasi rapih serta didukung oleh ribuan akun”.

 

Hal itulah yang diungkapkan oleh Polri saat mengungkapkan terbongkarnya jaringan Saracen sebagai sindikat penyedia jasa konten negatif. “Bila merujuk pada beberapa kasus sebelumnya yang pernah diungkapkan oleh Polri, kebanyakan pelakunya bersifat individu dengan korbannya bervariasi mulai dari kelompok dan golongan hingga sejumlah tokoh termasuk salah satunya adalah Presiden Joko Widodo” ungkapnya.

 

Kemudian bila merujuk kepada sejumlah berita di media massa, terlihat dalam setahun terakhir ini, hampir setiap bulan selalu tersaji berita-berita seputar tertangkapnya pelaku penyebar meme dan ujaran kebencian. Semua pelaku yang tertangkap selama ini selalu atas nama individu.
Yudi Prayudi, menambahkan “Terungkapnya jaringan Saracen telah membuka mata kita semua, bahwa jasa untuk melakukan tindakan-tindakan yang melanggar hukum ternyata memang benar adanya. Jasa sejenis ini adalah bagian dari cybercrime black market. Bagi kalangan tertentu, cybercrime adalah sebuah potensi ekonomi yang sangat besar, komunitas pengguna dan penyedia selalu tumbuh untuk saling memanfaatkan satu sama lainnya”.

 

Baca Juga : 6 Peran Saracen yang Harus Diungkap Polisi Menurut Ahli Forensik

 

Masing-masing punya kepentingan dan merasa diuntungkan dengan tersedianya forum tersebut. Dalam kasus Saracen, produk dari blackmarket tersebut adalah jasa untuk membuat, menyebarkan meme dan konten negative yang mengarah pada SARA dan ujaran kebencian.
Dalam dunia nyata, blackmarket adalah tempat khusus dimana berbagai barang illegal dan tidak umum dapat dengan mudah didapat. Dalam dunia maya, blackmarket menjadi lebih luas lagi maknanya serta ruang lingkupnya. Selain hal yang terkait dengan barang-barang illegal, juga terdapat beberapa produk lain yang umumnya diperjual belikan, yaitu data dan jasa. Termasuk diantaranya adalah jasa-jasa seputar hacking dan kampanye hitam melalui konten-konten yang negatif terhadap individu/organisasi.

 

Lazimnya sebuah organisasi, maka pelaku blackmarket akan memiliki peran-peran tersendiri sesuai dengan keahliannya. Peran tersebut akan terbagi mulai dari yang sifatnya teknis operasional hingga manajerial. Dalam sejumlah laporan dari beberapa pihak yang melakukan kajian dan eksplorasi tentang cybercrime blackmarket, disebutkan terdapat sejumlah peran yang umumnya ada dalam sebuah organisasi yang menjalankan aktivitas blackmarket. Pertama adalah organization leader, yaitu mereka yang mengorganisir semua bisnis dan jasa ilegal yang dijalankannya. Kedua adalah mereka yang berperan sebagai penerima dana serta yang mencairkanya dan kemudian mentrasfernya ke rekening yang aman bagi mereka. Ketiga adalah bagian pemasaran yang berusaha mencari pihak-pihak yang akan memanfaatkan jasa mereka. Kelima adalah bagian yang langsung terkait produk yang ditawarkannya baik berupa barang ataupun jasa.

 

Selanjutnya adalah supporting dan teknisi sebagai bagian paling penting yang langsung terkait dengan masalah teknis pemanfaatkan komputer, dari mulai membangun programnya, posting konten, hosting dan merawat web serta memastikan bahwa layanan dari jasa yang ditawarkannya telah terpenuhi dengan baik dan sesuai dengan permintaan.  Dalam  konteks  ini,  selain  3  orang  yang  telah  ditangkap  oleh  Polri   karena perannya dalam sindikat Saracen, seharusnya ada lebih banyak lagi pelaku yang dapat ditangkap bila Polri dapat menemukan peran-peran lainnya dalam jaringan tersebut.

 

Ketiga pelaku dari sindikat Saracen ini dijerat dengan pasal-pasal pada UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE serta perubahannya pada UU Nomor 19 Tahun 2016, terutama sekali pada klausul tentang larangan Setiap Orang untuk dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).

 

Hal yang kemudian menjadi pertanyaan dan tantangan untuk penegak hukum adalah bagaimana dengan pihak-pihak yang memberikan order pesanan atau yang memanfaatkan jasa dari sindikat Saracen, adakah hukum yang bisa menyentuhnya ? Menurut sejumlah ahli hukum, pemesan jasa dapat saja dikatagorikan dengan perbuatan penyertaan tindak pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 55 dan 56 KUHP, yaitu yang menyuruh melakukan dan yang membantu melakukan. Kajian hukum tentang pelanggaran pasal terhadap mereka yang menjadi pemesan order dari meme/konten negative/ujaran kebencian yang dilakukan melalui bantuan teknologi informasi sebagaimana dalam kasus Saracen ini harus terus dikaji lebih intensif agar pihak kepolisian memiliki dasar yang kuat kedepannya untuk tidak hanya menindak penyebar kontennya saja tetapi juga pihak yang menggunakan jasa untuk penyebaran konten tersebut.

 

Baca Juga : Saracen, Bukti Adanya Pasar Gelap Jasa Pelanggar Hukum

 

Saracen bisa jadi hanya pintu masuk saja ke sindikat sejenis yang juga beroperasi di Indonesia. Banyaknya akun yang tergabung dalam sindikat Saracen sangat memungkinkan untuk tetap bertahannya bisnis sejenis namun dengan pola-pola yang jauh lebih rapih. Harus disampaikan kepada masyarakat, bahwa memesan konten dan menyuruh menyebarkan konten negative adalah bagian dari tindakan criminal.

 

Selanjutnya sinergisitas antara aparat penegak hukum, masyarakat umum, tokoh-tokoh agama dan nasional harus semakin dikuatkan. Pada satu sisi, infrastruktur untuk melakukan filtering dan kontrol terhadap konten-konten negative harus semakin efektif, kemudian pengembangan tools serta kerjasama dengan vendor penyedia jasa media sosial juga harus ditingkatkan agar penyedia jasa media sosial juga turut berperan aktif dalam memfasilitasi upaya-upaya untuk filtering konten yang negatif, termasuk didalamnya adalah aktif dan responsif terhadap aduan dari pengguna.

 

“Pada sisi lain, edukasi kepada masyarakat pengguna aplikasi harus tetap dilakukan agar konten negatif yang sampai kepadanya tidak kemudian disebarkan namun diputus rantai penyebarannya. Hal yang tidak kalah pentingnya, adalah website-website resmi juga harus selalu aktif menyampaikan informasinya kepada masyarakat agar hal-hal yang terkait dengan berbagai issue yang beredar di masyarakat juga bisa mendapat klarifikasinya dari sumber yang resmi” pungkas Yudi.

 

Jerri Irgo