Idulfitri: Istikamah dalam Suci
Prof. Fathul Wahid, ST., M.Sc., Ph.D
Rektor Universitas Islam Indonesia
– – –
Alhamdulillah, Allah masih mempertemukan kita dengan Ramadan di tahun ini. Tak terasa, tamu agung tersebut telah meninggalkan kita. Ramadan telah menjadi katalis — meminjam konsep dalam reaksi kimia — bagi semua mukmin untuk meningkatkan amal. Salat semakin tepat waktu ditegakkan, salat sunah semakin banyak ditunaikan, Al-Qur’an semakin tertib didaras, doa semakin sering dilantunkan, sedekah semakin rajin dijalankan, dan amarah semakin kuat dikekang. Singkatnya, Ramadan menghadirkan atmosfer yang kondusif untuk berbuat baik.
Katalis untuk istikamah
Dengan katalis Ramadan, proses reaksi dalam praktik keberagaman kita akan semakin cepat terjadi dan membekas. Ketika kebiasaan dalam Ramadan sudah menjadi bagian dalam keseharian kita, maka energi yang diperlukan untuk aktivasi niat baik menjadi amal bajik, tidak lagi tinggi. Yang dihasilkan adalah sikap baik yang istikamah alias konsisten. Inilah yang membimbing kita ke dalam derajat takwa, tujuan ultima dari puasa Ramadan.
Konsistensi dalam beriman dan beramal bajik inilah yang juga menjadi jaminan hidup yang baik (hayyah thoyyibah) (QS 16:97), yang ditandai tiga indikator: sejahtera (lahum ajruhum inda rabbihim), damai (wa laa khaufun alaihim), dan bahagia (wa laa hum yakhzanuun) (QS 2:62; 46:13).
Apakah bersikap konsisten mudah? Tidak. Karenanya dibutuhkan ikhtiar untuk menjaganya. Berbuat bajik mudah, jika hanya dilakukan kadang kala. Bersikap jujur tidak sulit, jika hanya dijalankan sekali-dua kali. Menolong orang pun tidak berat, jika dibutuhkan ketika hati bahagia dan rezeki longgar. Tetapi, selalu berbuat bajik, senantiasi jujur, dan tak lelah menolong orang, membutuhkan keteguhan. Inilah istikamah.
Ikhtiar lain dalam menjaga istikamah adalah dengan tidak lelah mendekatkan diri dengan pengingat. Carilah lingkungan yang menyediakan sistem peringatan dini yang senantiasa hadir dengan nasihat: saling menasihati untuk menetapi kesabaran, untuk tak lelah menyebar kasih sayang, dan untuk menaati kebenaran (QS 90:17; 103:3). Nasihat akan menjadi pengingat ketika kita lupa (QS 7:179).
Pandemi yang menyucikan hati
Suasana Ramadan dan Idulfitri tahun ini pun kita lalui dengan suasana yang tidak biasa. Pandemi Covid-19 telah memaksa kita mengerjakan banyak hal dari rumah: bekerja, belajar, dan beribadah lain. Berada di rumah untuk menjauhi penyakit juga merupakah ibadah, karena ini adalah perintah Rasulullah (Sahih al-Bukhari 5728).
Jika beragam ikhtiar sudah dijalankan, ternyata masih terpapar penyakit dan mati, Rasulullah menyatakanya sebagai kematian yang syahid (Sahih al-Bukhari 5732). Jadi, di dalam rumah, tidak bepergian meninggalkan atau memasuki wilayah pandemi bukan semata imbauan pemerintah. Ini adalah perintah agama. Luruskan niat.
Selama bekerja dari rumah atau menemani anak belajar dari rumah, banyak hikmah yang kita petik. Kita semakin menghargai pekerjaan yang diamanahkan kepada kita. Kita juga semakin mengapresiasi bagaimana para guru sangat membantu dalam mendidik anak-anak kita. Kita semakin menyadari bahwa hidup berdampingan secara rukun dengan orang lain sangat bermakna.
Refleksi yang tulus atas keadaan yang ada, insya Allah akan sampai pada kesimpulan bahwa pandemi ini dapat juga kita jadikan momentum untuk menyucikan diri. Kita memang diminta menjaga jarak, tetapi jangan lupa untuk menjaga solidaritas sosial. Kiat bisa sisihkan sebagian harta untuk yang membutuhkan, energi untuk mengedukasi publik, atau jaringan untuk membantu memasarkan produk sahabat kita. Jangan pernah abaikan amal bajik, sekecil apapun.
Semoga kondisi seperti ini di tengah Ramadan sebagai katalis dalam beribadah akan membawa kita ke tingkatan baru sebagai manusia, yang lebih terasah semua sudut kemanuasiannya (cf. QS 7:179; 25:43-44). Di tengah pandemi, takbir yang kita kumandangkan ketika Idulfitri pun semakin bermakna, karena mengingatkan kita betapa kecilnya manusia di hadapan Sang Pencipta yang Maha Besar.
Semoga Allah masih berkenan mempertemukan kita dengan Ramadan mendatang, sebagai penyuci jiwa jika masih terkotori (HR Muslim, Riyadl Ash-Shalihin 1149). Semoga Allah selalu menjauhkan kita dari anasir jahat yang menggoda tak henti untuk menjaga kesucian hati.
Inilah hakikat idulfitri: kembali suci.
Refleksi Idulfitri 1441 H
Sumber: Pojok Rektor UII