Batik Terancam oleh Sikap Pragmatis Pengusaha
YOGYAKARTA, (PRLM).- Batik asli yang dikemas dengan tangan atau batik tulis terancam perilaku tidak sportif di internal para pengusaha. Mereka cenderung pragmatis dengan manipulasi batik tulis. Manipulasi batik tulis dilakukan dengan kombinasi teknik printing/sablon degan teknik batik. Produk demikian tidak bisa dikategorikan sebagai batik tulis.
“Problematika tentang pengkombinasian teknik sablon degan teknik batik. Kemudian produk yang mirip batik tetapi secara keseluruhan bukan batik atau full printing. Pedagang sering mengklaim prodk semacam itu tetap sebagai batik asli,” kata pakar batik Balai Besar Krajinan dan Batik Masiswo, Minggu (24/11/2013).
Dalam dialog tentang batik dalam perspektif industri dan proses di Fakultas Teknologi Industri Universitas Islam Indonesia (FTI UII), batik asli, batik tulis maupun bukan, juga teranca oleh tekstil-tekstil impor yang bercorak menyerupai, terutama impor tekstil dari Cina. Semakin mendominasi pasar, “batik palsu” Cina ini menganggu eksistensi dan masa depan batik Indonesia.
Ancaman lainnya kain motif batik direkayasa menjadi “batik” dengan cara kain motif batik tersebut disiram ‘esense malam’. Jalan pintas ini sebagai manipulasi yang lebih parah dalam industri batik nasional.
“Kain motif batik yang disiram ‘esense malam’ menjadikan ‘batik palsu’ yang seolah-olah batik asli tidak diketahui oleh orang awam. Seorang pejabat pergi ke luar negeri denga menenteng souvenir ‘batik palsu’ itu, dibeli di sini dengan harga mahal, tetapi mereka tidak tahu yang dibeli dan dijadikan buah tangan di luar negeri sebenarnya batik palsu. Ini problem yang justru mengancam eksistensi batik,” kata dosen FTI UII Agus Taufik.
Menurut dia masalah sikap pragmatis yang menyulap batik bukan asli menjadi seolah-olah batik asli bisa mempengaruhi status batik sebagai warisan budaya “tak benda” yang ditetapkan oleh Unesco pada 2 Oktober 2003. Apabila tim pemantau Unesco menilai para pelaku industri dan pengrajin batik tidak bisa memelihara warisan budaya tersebut, itu bisa menjadi masalah pada status batik sebagai warisan budaya.
Kepala Pusat Studi Desain Busana dan Batik Ir. Gumbolo Hadi Susanto, MSc menyatakan tujuan Unesco mengukuhkan batik sebagai warisan budaya untuk memotivasi semua masyarakat, meningkatkan kesadaran nilai batik di tingkat lokal dan nasional serta antarbangsa. Agar status warisan budaya tetap aman, batik harus terus direvitalisasi.
“Merevitalisasi batik dengan cara menghidupkan kembali seni batik, tidak hanya mengenal dan memakai batik, juga melalui pendidikan karakter batik,” ujar dia.
Dekan FTI UII tersebut menyatakan pendidikan karakter batik untuk menjaga motif-motif batik dan filosofi yang terkandung di dalamnya. Jika strategi demikian intensif dilaksanakan, maka sikap pragmatis dalam produks batik bisa dicegah. Tugas ini bisa dilaksanakan oleh akademisi seni batik dan peran pengelola museum batik. (A-84/A-147)***
Diberitkan di Pikiran Rakyat OnLine
Jerri Irgo
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!