IDFIF Dapat Menjadi Framework Standar di Jajaran Penegak Hukum Indonesia

Semakin meluasnya pemanfaatan komputer maupun perangkat bergerak, semakin banyak pula tindak kejahatan yang dapat dilakukan dengan perangkat canggih tersebut. Hal ini terbukti dengan bertambahnya jumlah kasus kejahatan siber (cyber crime) yang dilaporkan ke pihak penegak hukum. Penanganan kasus kejahatan siber di lingkungan kepolisian memiliki panduan dalam bentuk Standar Operational Procedure (SOP) yang mengacu pada Accociation of Chief Police Officers (ACPO).

 

SOP tersebut saat ini digunakan oleh jajaran Kepolisan Negara Republik Indonesia baik di Mabes Polri maupun di sejumlah Polda yang telah mempunyai tim cyber crime, ungkap AKP Suharno, SH, M.Kom yang juga Alumni Magister Teknik Informatika, Konsentrasi Forensika Digital, Program Pascasarjana Fakultas Teknologi Industri Universitas Islam Indonesia, pada Rabu (10/12), di Kampus UII Terpadu.

 

Suharno yang kesehariannya berkantor di Polda DIY mengungkapkan, trend kejahatan siber yang semakin meningkat menuntut penanganannya tidak hanya ditangani oleh pihak Kepolisian saja, namun juga oleh instansi penegak hukum lain yang mempunyai kewenangan melakukan investigasi forensika digital, antara lain Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Narkotika nasional (BNN). “Sudah selayaknya instansi-instansi tersebut juga dengan menerapkan framework standar ACPO dalam melaksanakan investigasi kasus kejahatan siber,” paparnya.

 

Dengan adanya investigator dari berbagai instansi yang berbeda menurut Suharno, maka tentu akan terdapat perbedaan cara pandang dan persepsi dalam menginvestigasi kasus kejahatan siber. Hal ini dikarenakan antar instansi menggunakan framework investigasi yang berbeda dalam menangani kasus-kasus tersebut. Proses investigasi yang dilakukan di tiap bagian dalam masing-masing instansi pun memiliki perbedaan tergantung dari jenis kasus yang ditangani.

 

Lebih lanjut disampaikan Suharno, belum diterapkannya framework standar yang dipakai secara nasional di jajaran penegak hukum di Indonesia dalam proses investigasi forensika digital sangat memungkinkan terjadinya perbedaan metodologi pada saat proses investigasi kasus kejahatan siber. Hal ini bisa berakibat kontraproduktif terhadap hasil keluarannya.

 

“Setelah sidang kasus siber misalnya, pengacara pihak tersangka yang merasa kurang puas atas pembuktian pada saat sidang dapat meminta bantuan saksi ahli untuk menginvestigasi ulang kasusnya dalam rangka membela kliennya,” ungkap Suharno.

 

Ditambahkan Suharno, Integrated Digital Forensics Investigation Framework (IDFIF) dinilai dapat menjadi solusi untuk mengakomodasi proses investigasi karena tingkat efisiensi efektifitas, reliabilitasnya bersifat komprehensif dan terintegrasi. Selain itu, framework IDFIF dapat direkomendasikan menjadi framework standar di jajaran penegak hukum di Indonesia untuk menghindari perselisihan di pengadilan karena penerapan metode investigasi forensika digital yang berbeda.

 

Diberitakan Humas UII

 

Jerri Irgo

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply