PTS Menanti Respons Negara

Prof Fathul Wahid

Prof. Fathul Wahid, Rektor Universitas Islam Indonesia dan Ketua Aptisi Wilayah V DIY

= = =

Hanya 11 persen PTS yang masih bertahan tanpa masalah serius sampai Desember 2020.

Tak seorang pun tahu pasti kapan pandemi Covid-19 berakhir. Beragam prediksi muncul dengan pendekatan aneka rupa. Hasilnya pun bervariasi. Ada yang menyebut Juni, September, Desember,  bahkan selepas pengujung 2020.

Namun, semua tampaknya sepakat kalau pandemi sudah meninggalkan dampak luar biasa di banyak sektor, tak terkecuali di perguruan tinggi swasta (PTS). Tentu, semua PTS berharap yang terbaik, tetapi harus bersiap untuk yang terburuk.

Selama ini, PTS telah membantu negara dengan luar biasa meski kadang dipandang sebelah mata. PTS telah meningkatkan angka partisipasi kasar pendidikan tinggi (APK). Data termutakhir Badan Pusat Statistik pada 2019 menunjukkan angka 30,28 persen.

Artinya, hanya 30,28 persen warga Indonesia berusia 19-23 tahun yang mengenyam bangku kuliah. Data pada pengujung 2019 merekam, dari 7.339.164 mahasiswa, 60 persennya dilayani PTS. Bayangkan jika semua PTS tutup. APK akan anjlok menjadi 12,08 persen.

Lebih penting dari angka itu, PTS di seluruh penjuru Indonesia, berandil dalam pemerataan akses pendidikan tinggi ketika tangan negara belum mampu hadir. Pendidikan tinggi untuk negara sebesar Indonesia, bukan hanya soal kualitas, melainkan juga pemerataan akses.

Jika negara sepakat, pendidikan tinggi adalah salah satu penghasil aktor peradaban masa depan. Tidak ada pilihan lain kecuali menyelamatkan PTS.

Banyak orang tak sadar, ketika PTS hidup sehat dampaknya luar biasa bagi publik. Anggaran mahasiswa yang dikelola PTS proporsinya jauh lebih kecil dibandingkan yang beredar di publik untuk menggerakkan roda perekonomian. Mulai dari bisnis indekos sampai kuliner.

Nah, pada saat pandemi seperti ini, PTS termasuk yang sangat terdampak. Berbeda dengan PTN yang masih mendapatkan kucuran dana pemerintah, termasuk untuk menutup belanja pagawai. Harus diakui, porsi terbesar anggaran PTS masih berasal dari mahasiswa.

Ketika sumber penghasilan penanggung biaya pendidikan terdampak, ini memengaruhi pemasukan PTS. Penulis percaya, PTS cukup terbiasa mengelola hal seperti ini, tetapi pandemi kali ini berbeda.

Jika berkepanjangan, dampaknya sangat dahsyat. Survei pekan lalu yang melibatkan 66 PTS di Yogyakarta menegaskan sinyalemen ini. Hanya 11 persen PTS yang masih bertahan tanpa masalah serius sampai Desember 2020.

Survei ini tidak hanya melibatkan PTS yang sedang berkembang, tetapi juga PTS besar dengan lebih dari 20 ribu mahasiswa. Jangan salah mengira, meskipun tengah menghadapi masalah, PTS mempunyai kepedulian tinggi terhadap yang terdampak pandemi.

Hanya 11 persen PTS yang masih bertahan tanpa masalah serius sampai Desember 2020.

Untuk memperpanjang umur, PTS menjalankan beragam jurus, termasuk membatalkan beragam program, realokasi anggaran, menurunkan insentif, memotong besaran gaji, sampai menunda pembayaran gaji. Pilihan yang tak mudah tetapi harus ditunaikan.

Masalah semakin terasa ketika saat ini, musim admisi mahasiswa baru juga sedang berjalan. Kegagalan dalam hal ini berdampak panjang. Tidak hanya untuk setahun, tetapi juga bisa mencapai empat tahun atau bahkan lebih.

Respons negara

Jika negara sepakat, pendidikan tinggi adalah salah satu penghasil aktor peradaban masa depan. Tidak ada pilihan lain kecuali menyelamatkan PTS, kecuali jika negara mempunyai pandangan lain terhadap PTS.

Semoga tak ada pemangku amanah publik yang mencibir: PTS manja atau PTS kok ingin seperti PTN. Penulis yakin, negara tidak seperti itu. Seandainya negara mengulurkan tangan dengan beragam kebijakan yang tepat, PTS bersukacita jika diminta pendapatnya.

Meski pandemi menjadi momentum, kebijakan negara seharusnya dibuat untuk waktu yang panjang. Banyak yang bisa dilakukan, bahkan jika pilihannya tanpa mengeluarkan uang sepeser pun.

Negara dapat melonggarkan beragam kebijakan. Seumpama pemangku amanah publik sepakat PTS dibangun di atas premis membantu negara mencerdaskan kehidupan bangsa maka kebijakan perpajakan, misalnya, akan lebih bersahabat.

Sampai hari ini, mimpi PTS mempunyai dana abadi masih menjadi kemewahan karena kebijakan yang tidak berpihak. Alih-alih memberikan lahan subur untuk tumbuhnya PTS, kebijakan ini justru sering memasang mata curiga kepada PTS.

Energi pemimpin PTS tak jarang tersita untuk isu ini. Andaikata Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi menyadari, tak mudah bagi PTS merekrut dosen saat pandemi maka syarat rasio dosen dan mahasiswa untuk perpanjangan akreditasi, tak diberi tenggat singkat.

Meski demikian, jika rasio tidak ideal, yakinlah PTS tidak mempunyai niat jahat dan menjalankan PTS asal-asalan serta abai terhadap kualitas.

Jika saja jeritan  PTS di pelosok Indonesia yang tertatih-tatih dengan pembelajaran daring didengar, penulis yakin, negara akan mengajak diskusi dan hadir dengan beragam alternatif solusi, termasuk memberi bantuan koneksi internet.

Indonesia tidak hanya Pulau Jawa dan kota besar, apalagi sebatas Jakarta. Jangankan koneksi internet andal, jaringan listrik stabil pun masih menjadi kemewahan di banyak daerah. Daftar di atas, hanya merangkum beberapa pesan PTS yang sudah lantang bergaung.

Penulis yakin negara sensitif dan mendengar pesan PTS. Jika ini terjadi, harapan jadi kenyataan. Jika tidak, daftar mimpi PTS akan semakin panjang: seandainya, seumpama, andaikata, dan jika saja. Ah, dunia lebih indah, seandainya PTS tak hanya punya andaikata.

Sumber: Republika