Opini: Integrasi Teknologi untuk Mengurangi Dampak Bencana

Media Indonesia, Rabu, 2 Maret 2016 lalu, ketika sebagian dari kita mulai beristirahat melepas penat di rumah, tiba-tiba beredar berita melalui media sosial mengabarkan peringatan dini kemungkinan terjadinya tsunami di Mentawai. Semua yang menerima kabar tersebut segera meneruskannya kepada orang lain. Esok harinya (3/3) media memberitakan sempat terjadi kepanikan warga, dan mereka berbondong-bondong menjauh dari pantai. Menariknya, berita peringatan tsunami beredar hanya dalam waktu 3 menit setelah waktu terjadinya gempa 8,3 SR yang bisa menjadi pemicu tsunami. Kalau saja saat itu benar terjadi tsunami, masyarakat masih punya cukup waktu untuk menyelamatkan diri karena jeda antara gempa dan tsunami umumnya 20 menit sampai 2 jam.

 

Bandingkan dengan bencana tsunami Aceh pada 2004 yang banyak menelan korban jiwa. Saat itu, warga tidak mengerti ancaman bahaya yang akan terjadi. Alih-alih menyelamatkan diri, beberapa orang malah mendekat ke pantai karena mereka melihat fenomena yang sangat unik, yaitu air laut yang surut dengan cepat. Terlepas bahwa itu ialah ketetapan Tuhan Yang Mahakuasa, kita bisa berusaha untuk memperkecil dampak negatif dan mengurangi jumlah korban akibat bencana.

 

Dari gambaran dua kejadian tersebut, kita bisa melihat Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) saat ini sangat bisa dimanfaatkan untuk mendamaikan manusia dengan bencana, baik bencana tsunami maupun bencana alam yang lainnya, seperti banjir, gempa bumi, gunung meletus, dan lain-lain. Indonesia termasuk negara yang paling rawan dengan bencana alam. Salah satu faktor penyebabnya karena posisi Indonesia yang berada pada pertemuan lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Filipina. Jumlah gunung berapi mencapai 129 buah dengan 79 di antaranya bertipe A (sangat aktif), sehingga meningkatkan peluang terjadinya bencana alam. Bahkan, data UNISDR (United Nations International Strategy for Disaster Reduction) menyebutkan risiko bencana yang dihadapi Indonesia sangatlah tinggi. Potensi bencana tsunami di Indonesia menempati peringkat pertama dari 265 negara di dunia, dan risiko ancaman tsunami di Indonesia bahkan lebih tinggi jika dibandingkan dengan Jepang. Dalam hitungan UNISDR, ada 5.402.239 orang yang berpotensi terkena dampaknya. Integrasi berbagai teknologi sangat dibutuhkan untuk membantu kita berdamai dengan bencana, dalam arti mengurangi dampak dan korban sebanyak mungkin.

 

Prof Sarwidi dari BNPB mengatakan teknologi pendeteksian dini bisa meningkatkan efektivitas proses mitigasi bencana dengan tujuan dapat mereduksi kerugian material dan nonmaterial. Pada 2007, Kemenristek juga sudah menyatakan salah satu asas penanggulangan bencana di Indonesia ialah ilmu pengetahuan, artinya penanggulangan bencana harus memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi secara optimal. Dengan demikian, proses penanggulangan bencana, baik pada tahap prabencana, pada saat terjadi bencana, maupun pada tahap pascabencana dapat dipermudah dan dipercepat. Saat ini di banyak daerah sudah dipasang teknologi deteksi dini, dengan teknologi ini kita bisa sejak awal mengetahui potensi terjadinya bencana, bisa tsunami, banjir, tanah longsor, gunung meletus, dan lain-lain. Terlepas bahwa teknologi tersebut masih butuh banyak perbaikan dan pengembangan, pertanyaan selanjutnya ialah jika sudah ada peringatan dini, apa yang sebaiknya harus dilakukan? Masalah ini terjadi pada banyak peristiwa bencana, misalnya kejadian di Mentawai itu, setelah mendapat peringatan dini kemungkinan bencana tsunami, masyarakat banyak yang bingung harus bagaimana? Akibatnya, terjadi arus mobilisasi masyarakat yang tidak teratur sehingga justru menimbulkan potensi korban kecelakaan dalam arus penyelamatan diri tersebut.

 

Firdaus, Dosen Teknik Elektro FTI UII  – See more at: Media Indonesia

 

Jerri Irgo

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply